Komentar Pembaca

Waktu yang paling berharga pada agama islam

oleh Abu Ubaidillah (2020-04-20)


https://www.mustafalan.com - Berjam-jam membaca al-Qur’an sesuatu yang amat jarang kita lakukan. Berjam-jam mengikuti kajian kitab pun jarang kita lakukan. Berjam-jam membolak-balik kitab para ulama pun susah untuk kita tengok pada biasanya sosok pemuda muslim di masa ini. Namun, berjam-jam di depan internet tanpa tersedia aktifitas yang mengerti dan bermutu adalah sesuatu yang lumrah. Terlebih ulang bersama tersedia facebook yang kini marak di dunia maya. Sungguh benar Allah ta’ala yang berfirman (yang artinya), “Demi masa, sebenarnya semua orang amat berada di didalam kerugian, jika orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati di didalam kebenaran, dan saling menasihati di didalam kesabaran.” (QS. al-’Ashr : 1-3).

Perkembangan teknologi bukanlah sesuatu yang sanggup disalahkan. Hanya saja, biasanya orang tidak sanggup Mengenakan produk kecanggihan teknologi itu bersama sebagaimana seharusnya. Cobalah kita ingat lebih berasal dari satu belas tahun yang silam, disaat televisi selamanya jadi barang langka, disaat internet dan hape belum meluas sebagaimana sekarang. Niscaya akan kita dapati banyak kemungkaran yang dahulu jarang kita temukan berjalan secara terang-terangan ternyata pada masa saat ini ini sudah jadi barang yang biasa dan lumrah menghiasi PC, laptop, dan perangkat komunikasi para generasi muda. Allahul musta’an! Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Segeralah beramal sebelum akan datangnya fitnah-fitnah bak potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang selamanya beriman tetapi di sore harinya dia sudah jadi kafir.” Atau “Pada sore hari selamanya beriman tetapi di pagi harinya dia jadi kafir.” “Dia rela menjual agamanya demi capai sekeping kesenangan dunia.” (HR. Muslim).

Saudaraku -semoga Allah melindungi diriku dan dirimu- saat yang Allah memberikan kepada kita merupakan nikmat yang amat agung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah nikmat yang biasanya manusia terpedaya sebab tidak sanggup Mengenakan keduanya bersama baik, yakni kebugaran dan saat luang.” (HR. Bukhari). Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Hai anak Adam, sebenarnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap kali hari berlalu maka lenyaplah lebih berasal dari satu berasal berasal dari dirimu.” Ada orang yang mengatakan, “Waktu bagaikan pedang, jika kamu tidak menebasnya -dengan kebaikan- maka dia akan menebasmu -dengan keburukan-.”

Hidup di dunia adalah saat ya akhi…, untuk apa kita buang saat kita di didalam perkara-perkara yang sia-sia? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira, bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia belaka, dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?”. (QS. al-Mukminun : 115). Allah termasuk berfirman (yang artinya), “Kemudian setelah itu kalian termasuk akan mati, setelah itu kalian kelak akan dibangkitkan pada hari kiamat.” (QS. al-Mukminun : 15-16).

Setiap mukmin, disaat ditanya; untuk apa kamu hidup? Niscaya sepanjang akalnya selamanya waras akan menjawab; untuk beribadah kepada Allah. Benar-benar jawaban yang cerdas. Namun, disaat kita memperhatikan bersama seksama aktifitas dan tabiat manusia di alam nyata di didalam bentuk gerak-gerik mata, jari-jemari, tangan dan kakinya, di saat siang, sore atau malam hari, maka akan kita temukan realita yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat berasal berasal dari jawaban yang mereka lontarkan. Mereka makan untuk mencukupi hawa nafsu. Mereka menyaksikan untuk mencukupi hawa nafsu. Mereka berjalan untuk capai apa yang di menghendaki oleh nafsu. Mereka begadang termasuk untuk mencukupi tuntutan hawa nafsu. Mereka membuka mata dan telinga lebar-lebar pun untuk mencukupi permintaan hawa nafsu.

Kita tidak tengah menyibukkan diri bersama mengupas aib orang lain, tetapi yang kita bicarakan adalah aib-aib kita yang Allah sendirilah yang paling mengerti betapa banyak aib kita di mata-Nya. Meskipun demikian, kita seperti orang yang masa bodoh bersama dosa-dosanya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seorang mukmin akan menyaksikan dosanya bagaikan sebuah bukit besar yang akan menimpa dirinya. Sedangkan seorang yang fajir akan menyaksikan dosanya hanya seperti seekor lalat yang hinggap di depan hidungnya setelah itu dia halau bersama jari bersama santainya.”

Subhanallah! Betapa jauhnya kita bersama akhlak salafus shalih. Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku berjumpa bersama tiga puluh kawan dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua menjadi cemas dirinya tertimpa kemunafikan.” Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin akan mengkombinasikan di di didalam dirinya pada ihsan/perbuatan baik bersama rasa takut. Sedangkan seorang yang munafik akan mengkombinasikan di di didalam dirinya pada tingkah laku buruk bersama rasa aman berasal berasal dari tertimpa hukuman.” Allahul musta’aan!

Di manakah posisi kita wahai saudaraku! Kita menisbatkan diri sebagai seorang salafi -pengikuti pemahaman salafus shalih- tetapi di didalam prakteknya akhlak kita seperti akhlak orang-orang Arab Badui…!

Allah ta’ala berfirman perihal akhlak orang Arab Badui (yang artinya), “Orang Arab Badui itu lebih keras kekufuran dan kemunafikannya dan amat lumrah tidak mengerti batasan-batasan (hukum) yang Allah turunkan kepada rasul-Nya…” (QS. at-Taubah : 97). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Meskipun di kota maupun di pelosok/badui termasuk sama-sama terdapat orang kafir dan munafik, tetapi yang berada di pelosok itu biasanya lebih kritis daripada yang hidup di kota. Salah satu buktinya adalah orang Arab badui/pelosok itu lebih rakus kepada harta dan lebih pelit terhadapnya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/457]).

Memang lebih berasal dari satu di pada mereka pun terdapat orang yang beriman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di pada orang Arab Badui itu pun tersedia yang beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. at-Taubah : 99). Oleh sebab itu mereka dicela bukan sebab kebaduiannya, akan tetapi sebab mereka meninggalkan perintah-perintah Allah, dan bahwasanya mereka adalah golongan orang yang amat ringan terjerumus di dalamnya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/458]).

Maka apa bedanya mereka itu (baca: Arab badui yang ‘mbeling’) bersama lebih berasal dari satu di pada kaum muslimin pada hari ini yang begitu ringan meninggalkan perintah-perintah Allah dan juga menerjang larangan-larangan-Nya semata-mata bersama alasan “Ini kan masa moderen, biasalah.” “Kita kan selamanya muda, ya wajar!”. Atau bersama mengatakan, “Dari pernah ya sudah kayak gini, masak rutinitas warisan nenek moyang rela kita selisihi [?!]“. Atau bersama mengatakan, “Masak tiap hari disuruh pengajian, kita ‘kan termasuk wajib refreshing, menikmati dunia memangnya gak boleh?”. Atau, “Ah kamu ini sok suci. Jangan munafiklah!”. “Kamu sih, sukanya yang ekstrim-esktrim.” Dan seabrek bisikan syaitan lainnya. Laa haula wa laa quwwata illa billah!

Perhatikanlah wahai saudaraku -semoga Allah membimbingmu- sebenarnya syaitan dan bala tentaranya tidak henti-henti berusaha untuk menjerumuskan umat manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya singgasana Iblis berada di atas lautan. Maka dia mengutus pasukan-pasukannya demi menyesatkan manusia. Bala tentaranya yang paling mulia kedudukannya di sisi Iblis adalah yang paling dahsyat membuat kekacauan.” (HR. Muslim).

Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu’anha mendapati suaminya yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya di suatu malam, maka Aisyah pun menjadi cemburu. Setelah pulang, Nabi menyaksikan keresahan yang tersedia padanya, kemudian Nabi berkata, “Ada apa denganmu wahai Aisyah? Apakah kamu menjadi cemburu?”. Aisyah mengatakan, “Bagaimana orang sepertiku tidak menjadi cemburu kepada seorang suami yang seperti anda?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah syaitanmu sudah mendatangimu?”. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah bersamaku tersedia syaitan?”. Beliau menjawab, “Iya.” Lalu Aisyah berkata, “Apakah semua orang termasuk demikian?”. Beliau menjawab, “Iya.” Aisyah ulang bertanya, “Demikian termasuk kamu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Iya, hanya saja Allah sudah membantuku untuk menundukkannya agar pada kelanjutannya dia pun masuk Islam.” (HR. Muslim).

Ketika dahulu para kawan dekat duduk bersama untuk berkata dan menasehati di didalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Eee … pada hari ini lebih berasal dari satu berasal berasal dari kita justru berkumpul dan saling bahu membahu untuk memupuk kemaksiatan dan merontokkan tembok keimanan. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari kiamat itu nanti orang-orang yang saling berkasih sayang dan berteman akan beralih jadi saling bermusuhan jika orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf : 67).

Maka, bersama andil besar berasal berasal dari syaitan dan bala tentaranya itulah, terbentuklah geng-geng, perkumpulan-perkumpulan, gerakan-gerakan, yang seluruhnya punya satu kecenderungan yang seragam yakni bertekad bulat untuk mendurhakai ar-Rahman Sang penguasa kerajaan langit dan bumi. Dengan keyakinan mereka, mereka menanamkan bahwa kehidupan dunia adalah lahan untuk memuaskan hawa nafsu dan mengumbar kesombongan. Dengan ucapan mereka, mereka meminta mengelabui kaum muda bahwa tidak tersedia gunanya rajin-rajin menuntut ilmu agama, lebih baik sibuk bersama wawasan terkini dan meninggalkan al-Qur’an. Dengan sikap dan tingkah laku mereka, mereka mengajak masyarakat dan para orang tua untuk bersama menenggelamkan putra-putri mereka di didalam pergaulan bebas tanpa batas, agar tingkah laku keji pun bersama leluasa merajalela. Apakah maknanya ini semua, wahai saudaraku yang mulia… akankah kita biarkan kemungkaran itu terus merajalela dan menyebabkan kerusakan tunas-tunas bangsa?

Oleh sebab itu, seorang pemuda muslim yang selamanya menyimpan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya menanamkan niat di di didalam hatinya agar tidak turut memperkeruh raut muka umat Islam masa kini di hadapan Rabb mereka.

Jadilah sebagaimana pemuda Ibrahim yang getol untuk memperjuangan tauhid dan memberantas syirik yang tersedia di masyarakatnya!

Jadilah sebagaimana para pemuda Kahfi yang beriman kepada Allah dan Allah pun rela berikan tambahan hidayah kepada mereka!

Jadilah sebagaimana Ali bin Abi Thalib yang amat keras memusuhi musuh-musuh Islam yang berani melecehkan kawan dekat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam!

Jadilah sebagaimana para pemuda Anshar yang berlomba-lomba untuk maju ke medan jihad demi mempertahankan agamanya!

Jadilah sebagaimana Uwais al-Qarani yang amat berbakti kepada ibunya!

Saudaraku, salafuna as-shalih adalah orang-orang yang amat pelit bersama waktunya dan paling gigih di didalam melindungi lisan mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka itu mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisik-bisikan mereka? Sebenarnya Kami mendengar, dan para utusan Kami (malaikat) selamanya mencatat di sisi mereka.” (QS. az-Zukhruf : 80).

Allah ta’ala termasuk berfirman (yang artinya), “Tidak tersedia kebaikan di di didalam biasanya pembicaraan mereka jika orang yang menyuruh bersedekah, mengajak yang ma’ruf, atau mendamaikan di pada manusia.” (QS. an-Nisa’ : 114). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak mutlak baginya.” (HR. Tirmidzi, hasan). Sebagian orang bijak mengatakan, “Apabila kamu akan berkata maka ingatlah bahwa Allah mendengar ucapanmu. Apabila kamu diam, maka ingatlah bahwa Allah termasuk selamanya mengawasimu.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 152).

Ikhwah sekalian, tauhid bukan semata-mata tulisan yang tergores di buku-buku. Tauhid bukan semata-mata dihafal di di didalam pikiran. Tauhid termasuk bukan semata-mata slogan-slogan kosong tanpa makna. Tauhid yang bersemayam di di didalam hati seorang insan tentu akan menghasilkan amal nyata di di didalam kehidupan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “..pokok keimanan itu tertanam di di didalam hati yakni ucapan dan tingkah laku hati. Ia termasuk pernyataan yang disertai pembenaran dan rasa cinta dan ketundukan. Sedangkan apa yang tersedia di di didalam hati pastilah akan terlihat konsekuensinya di didalam tingkah laku anggota-anggota badan. Apabila seseorang tidak laksanakan konsekuensinya maka itu perlihatkan bahwa iman itu tidak tersedia atau lemah [padanya]. Oleh sebab itu maka amal-amal lahir itu merupakan konsekuensi berasal berasal dari keimanan di di didalam hati. Ia merupakan pembuktian atas apa yang tersedia di di didalam hati, tanda dan saksi baginya. Ia merupakan cabang berasal berasal dari totalitas keimanan dan bagian berasal berasal dari kesatuannya.…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah [2/175] as-Syamilah, menyaksikan termasuk Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah, hal. 15).

Ibnu Batthah rahimahullah (wafat tahun 387 H) menyatakan riwayat berasal berasal dari Umair bin Habib radhiyallahu’anhu, dia mengatakan, “Iman itu jadi malah dan berkurang.” Ada yang bertanya, “Apakah maksud bertambahnya dan pengurangannya?”. Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah setelah itu kita memuji dan menyucikan-Nya maka itulah pertambahannya. Dan jikalau kita lalai dan melupakan-Nya maka itulah pengurangannya.” (al-Ibanah al-Kubra [3/153], menyaksikan termasuk Fath al-Bari Ibnu Rojab [1/5] as-Syamilah).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk dan cemas hati mereka bersama mengingat Allah dan juga merenungkan kebenaran yang diturunkan (kepada mereka), dan janganlah mereka itu seperti doa agar diberi kemudahan orang-orang terdahulu yang diberikan kitab sebelum akan mereka, disaat masa yang panjang berlalu maka mengeraslah hati mereka, dan banyak di pada mereka yang jadi orang-orang fasik.” (QS. al-Hadid : 16).

Suatu disaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan celakan sedangkan bersama kita selamanya tersedia orang-orang salih?”. Maka beliau menjawab, “Iya, jikalau perbuatan-perbuatan keji sudah merajalela.” (HR. Muslim).

Demikianlah sekelumit pesan bagi saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang meminta kebahagiaan abadi di akherat nanti, bersama para bidadari dan pelayan-pelayan yang baik budi. Suatu hari di saat orang-orang lain tersiksa, disaat itu pemuda yang tumbuh di didalam ketaatan beribadah kepada Rabbnya pun akan merasakan keteduhan di bawah naungan Arsy-Nya. Karena dia rela untuk meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsunya demi capai kecintaan Rabb alam semesta.

Allah ta’ala berfirman perihal surga (yang artinya), “Itulah yang balasan bagi orang-orang yang cemas kepada Rabbnya.” (QS. al-Bayyinah : 8).

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memurnikan taubat kita agar amat ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar ulang Maha Penerima taubat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.